Nama Sartre sering diidentifikasikan dengan eksistensialisme, karena
ia selalu merujuk pada tulisan-tulisan filsuf lain yang membahas tentang
eksistensialisme. Pikirannya tentang eksistensialisme tertuang dalam
tulisannya L’Existensialisme est un humanisme, suatu materi
kuliah yang dipublikasikannya dalam tahun 1946. Usaha untuk memahami
pemikirannya tentang manusia dan kebebasannya adalah baik jika diawali
dengan usaha untuk memahami pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi
manusia.
1. Eksistensi dan Essensi Manusia: Usaha Memahami Kebebasan.
Selama masa hidupnya, Sartre hampir menaruh sebagian besar studi
filsafatnya pada eksistensi individu manusia. Hasilnya, ia merumuskan
inti prinsip dasar eksistensialisme: eksistensi mendahului esensi. Bagaimana formulasi ini membantu kita memahami hakikat manusia?
Sartre berpendapat bahwa usaha untuk menjelaskan kenyataan adanya
manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Maksud implisit
yang mau ditampikan Sartre di sini yakni bahwa manusia itu memiliki
martabat yang luhur melebihi benda-benda yang ada. Penekanan pada
manusia subyek ini, sekaligus juga hendak mengungkapkan adanya suatu
kebebasan dalam diri setiap orang untuk menjadikan dirinya sendiri
sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia adalah kebebasan yang
mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah
suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia
tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Itu berarti
bahwa manusia adalah “sesuatu “ yang menggerakan dirinya sendiri menuju
ke masa depan dan gerakan itu sungguh disadarinya. Gerakan ke depan ini
membuka kemungkinan dan peluang bagi dirinya sendiri untuk secara bebas
menentukan apa yang diinginkan dirinya untuknya sendiri. Inilah yang
dimaksudkan Sartre dengan esensi manusia: menentukan dirinya sendiri
tanpa intervensi dan campur tangan orang ataupun pihak lain. Akan
tetapi, baginya, penentuan ini hanya dapat terjadi jika manusia telah
berada lebih dahulu. Beradanya manusia disebutnya dengan istilah ėrtre pour-soi, being for itself, cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan kesadaran subyektif. Suatu kenyataan yang berbeda dengan benda-benda yang cara beradanya diistilahkan Sartre dengan ėrtre en-soi. Yang dimaksudkan dengan cara berada ini yakni cara berada yang bersifat tertutup, statis, pasif, dan tanpa kesadaran.
2. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan.
Sartre berpendapat bahwa hekikat manusia adalah kebebasan dan kebebasan manusia itu bersifat mutlak. Lagi, kebebasan itu hanya dimiliki oleh manusia semata. Merupakan suatu kemutlakkan karena inilah yang menjadi syarat bagi pengembangan dan pembangunan diri manusia. Human rality is free, bassically and completely free.
Sedangkan kebebasan nampak dalam kenyataan bahwa manusia adalah bukan
dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri
sendiri. Situasi di mana manusia dituntut untuk tidak berhenti pada
dirinya sendiri melainkan berusaha untuk mengubah dirinya. Usaha ini
disertai dengan pelbagai keputusan atas pilihan-pilihan yang dapat
dipilih manusia itu sendiri. Dalam usaha ini manusia bertindak seorang
diri saja tanpa orang lain menolong atau berasamanya. Ia harus
menentukan untuk dirinya sendiri dan untuk seluruh umat manusia. Dalam
memutuskan, saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu
benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan itu benar.
Sampai di sini, Sartre hanya mau menarik perhatian pada salah satu
dari pengalaman manusia yang paling jelas, yaitu bahwa semua manusia
harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun tanpa penentuan
yang otoritatif, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini
berkaitan langsung dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri.
Jadi, manusia adalah individu yang lebih dahulu bereksistensi dan
kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan-pilihan
bebas atas pelbagai kemungkinan yang dihadapinya. Pilihan dalam
penentuan hidup ini adalah suatu bentuk dari proyek yang diusahakan
manusia baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia. Terhadap
diri sendiri, manusia mengusahakan suatu proyek yang bertujuan untuk
mencapai suatu kemungkinan dalam eksisteninya. Kemungkinan-kemungkinan
itu sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi. Dan usaha
ini terjadi dalam dunia karena manusia adalah being-in-the world.
3. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri dan Sesama
Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Dan
penentuan ini dilakukannya dengan membuat pilihan-pilihan. Akan tetapi,
kebebasan membuat pilihan ini disertai dengan rasa takut yang mendalam,
karena dengan pilihan itu manusia menyatakan tanggung jawabnya bukan
terhadap dirinya sendiri tapi juga terhadap orang-orang lain. Sartre
menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti
manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia
berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia. Menurutnya, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu,
menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia
talah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang,
dan pada saat itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab menyeluruh. Demikian dikatannya bahwa kita bertanggung jawab atas
keseluruhan eksistansi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas
semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan
dengan memilih diri kita sekaligus kita juga memilih untuk orang lain.
Terhadap diri sendiri, manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab
kepada alam rasanya. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab, bahkan
terhadap alam rasanya, karena perasaannya justru dibentuk oleh
perbuatannya sendiri.
Dalam kaitan dengan sesama sebagai bagian dari kenyataan eksistensi
manusia yang ada bersama secara bebas, Sartre juga berpendapat bahwa
kebebasan saya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain. saya
tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa serentak juga
membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Jadi saya bebas,
tetapi dalam kebebasan saya, saya sepantasnya memberikan peluang juga
kepada orang lain untuk mengungkapkan kebebasannya. Dalam konteks ini,
pemberian makna pada kehidupan dan dunia kehidupan akan menjadi mungkin.
Memang ia pernah menyebutkan orang lain sebagai “neraka”, tetapi
kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain
sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Dalam kaitan dengan ini, ia
pernah menyampaikan pandangannya tentang relasi dengan orang lain
sebagai berikut: hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah konflik:
orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama
pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain,
kalau bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul
“kita” yang obyektif. Konteks pandangannya ini hendak memberi kritik pada kenyataan hidup
manusia yang terbelenggu dalam kebiasaan menjadikan orang lain sebagai
obyek yang berfungsi sebagai sarana bagi pengembangan diri sendiri.
4. Kebebasan Manusia Sebagai Dalam Kaitan Dengan Eksistensi Tuhan
Penegasan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi sebetulnya sudah
menyisyarakatkan adanya penyangkalannya terhadap eksisteni Tuhan. Apa
yang hendak disampaikan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kalimat
tersebut? Inti dari pembicaraan Sartre tentang Tuhan yakni bahwa ia
menyangkal adanya eksistensi Tuhan. Ia mengkritik pandangan yang
menempatkan Tuhan sebagai pencipta yang dengan kata lain hendak
mengatakan bahwa esensi manusia sudah ada sebelumnya. Esensi yang ada
pada Tuhan yang mendapatkan eksistensi dalam penciptaan atau beradanya
manusia di dunia. Sartre menolak pendangan ini dengan berpendapat bahwa
yang pertama ada pada manusia yakni eksisteninya kemudian esensi yang
ditentukan manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau orang lain. Jika ada
Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, menurutnya, maka segalanya yang bukan
adanya Tuhan adalah ciptaanNya. Kalau begitu, dalam diri Tuhan terdapat
semacam rencana penciptaan di mana esensi benda-benda, termasuk esensi
manusia, telah ditentukan. Dengan demikian, seorang manusia tidak dapat
berubah secara hakiki dan tidak dapat mencapai taraf tinggi daripada
yang ditentukan Tuhan. Sartre menolak kenyataan ini. katanya, seandainya
Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari ada dan kesadaran.
Itulah sebabnya ia memilih secara sadar ateisme sebagai jalan hidupnya.
Dalam konteks kebebasan, dapat diajukan pertanyaan ini: bagaimana
mungkin manusia menentukan secara bebas hidupnya jika ia harus bertindak
sesuai dengan intervensi dari Tuhan? Manusia adalah kebebasan sehingga
ia sendiri yang menentukan esensinya dan bukan esensi itu sudah ada pada
Tuhan sebelum manusia bereksistensi. Atas cara ini, eksistensi Tuhan
ditolak oleh Sartre. Kalau Allah ada, manusia tidak bebas. Sebaliknya
kalau manusia bebas, Allah harus tidak ada. Inilah pemikiran antropologis Sartre yang ditempatkan dalam bingkai pembicaraannya mengenai kebebasan.
Demikian telah dibahas tentang kebebasan manusia dalam menentukan
esensinya dalam pandangan Jean-Paul Sartre. Intinya bahwa manusia adalah
subyek yang menentukan sendiri esnsinya setelah ia bereksistensi.
Penentuan ini dilakukannya dengan pelbagai pilihan-pilihan yang menuntut
dia untuk memutuskan nilai mana yang harus menjadi bagiannya. Dalam
usaha ini, manusia tidak saja bergerak sendirian tetapi juga bersama
dengan orang lain. Konsekuensi dari pandangan ini yakni bahwa eksistensi
Tuhan harus ditolak, karena bila ada eksistensi Tuhan maka manusia
tidak memiliki kebebasan untuk menentukan esensinya.
Sumber: https://www.academia.edu/9877415/Jean_Paul_Sartre_Filsafat_Eksistensialisme
http://nederindo.com/2012/03/gagasan-filosofis-jean-paul-sartre-dalam-les-mouches/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar