Konsep terpenting dalam buah karya yang melekat erat dalam
beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat
dikatakan bahwa Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer dari
kehidupan Yunani kuno yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan,
bahwa alam semesta dikendalikan oleh kehendak buta. Nietzche dalam study
mencari gagasan Yunani kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi
pendorong peradapan semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi
(absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang
tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale
sebagai berikut:
“Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada
yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan
tidak ada lagi yang lainnya!”
Dari kesimpulan Nietzsche mengenai “Will to Power” adalah
bahwa manusia terdorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”. Dengan kata lain,
jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu
kehendak. Gagasan-gagasan ini juga meliputi beberapa aspek perasaan kerendahan
hati, cinta, dan kewelas asihan (keibaan, compassion). Tetapi, fakta yang
sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran
yang cerdik dari Will to Power. Dengan
demikian, suatu konsep“Will to Power” dapat menjadi tolak ukur untuk memahami
motif suatu tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang dalam mencapai tujuan
tertentu.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan
mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti
sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala
sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas
Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain
konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas,
yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal
budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum
dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya.
Nietzsche ingin membongkar
kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan,
berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan
ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya
sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak
terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang
ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk
menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang
sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan
Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi
bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Sumber: