Senin, 26 September 2016

"Who inspired you the most?"

Kali pertama kami masuk ke kelas Motivasi Usaha yang diajar oleh Pak Andi, ia memberi kami tugas untuk menceritakan siapa individu (satu atau lebih) nyata atau tidak nyata yang menginspirasi kami.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya terus memikirkan siapa sosok yang tepat yang bisa saya tunjuk sebagai seorang inspirator hidup saya.

Orangtua kah?
Selebritis papan atas kah?
Filsuf kenamaan?
Atau para miliarder pengguncang dunia yang bahkan tak lulus sekolah?

Ah mungkin nanti akan muncul dengan sendirinya siapa sosok tersebut, pikir saya.

Oh akan lebih baik jika saya memberi perkenalan terlebih dahulu. Nama saya Novianna Stefany, mahasiswa kelas paralel semester satu fakultas Psikologi di Universitas Esa Unggul. Alasan saya ingin mengambil Psikologi sebagai major dalam gelar sarjana saya hanya karena saya sedang tertarik dengan ilmu tersebut. Saya memilih untuk menempuh pendidikan di Esa Unggul karena universitas ini memiliki akreditasi yang cukup baik dalam kelas paralel yang tersedia.

Selain seorang mahasiswa, saya juga seorang tenaga pengajar atau biasa dipanggil 'guru'. Wah terdengarnya saja sudah membosankan.

Kalau sudah besar mau jadi apa? Hah? Guru? Mau makan apa kalo jadi guru?
Kamu kerja apa? Hah? Guru? Kan gajinya kecil..
Wah jadi guru enak ya. Cuma ngajar doang

Tanggapan klasik yang terlampau sering saya dengar saat saya mengatakan profesi saya sebagai seorang guru. Ingin meneteskan setetes-dua tetes air mata setiap mendengar tanggapan-tanggapan tersebut. Bagi kebanyakan orang, bekerja sebagai guru, bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Profesi itu dianggap setingkat lebih rendah daripada profesi-profesi lainnya.

Tapi tidak bagi saya.
Bagi saya, menjadi seorang guru adalah sebuah kehormatan terbesar yang bisa saya sandang.
Tentu pemikiran seperti ini tidak lahir begitu saja.

Tidak seperti kebanyakan orang, saya sering sekali berpindah sekolah, mengikuti pekerjaan Ayah yang mengharuskan beliau untuk menetap di kota-kota yang berbeda. Karena sering berpindah sekolah, saya tidak pernah mempunyai teman dekat. Setahun di kota A, dua tahun di kota B, dan begitu seterusnya hingga akhirnya pada tahun 2007 kami sekeluarga berkomitmen untuk menetap di Jakarta.

Saya bukan anak yang cerdas, baik dalam pelajaran maupun dalam skill sosial. Saya rasa saya tidak mempunyai talenta yang dipunyai oleh kebanyakan teman-teman saya. Mereka ada yang pandai berolahraga, entah itu basket, futsal, berenang, atau apapun itu. Mereka ada yang pandai dalam berhitung, selalu mendapat nilai sempurna dalam Matematika, Fisika, dan Kimia. Mereka ada yang pandai bernyanyi, lagu apapun kan terdengar indah bila mereka nyanyikan.

Dan ditengah-tengah teman-teman yang hebat seperti itu, ada saya. Anak pindahan yang tak bisa apa-apa.

Pemikiran yang seperti itu membuat saya berkembang menjadi anak yang pemalu. Setiap ada presentasi kelas yang mengharuskan kita untuk berbicara di depan banyak orang, saya selalu gugup dan entah apa saja yang akan keluar dari mulut ini.

Sampai akhirnya saya bertemu seseorang.
Seseorang yang mempunyai andil terbesar dalam hidup saya.
Seorang guru yang hebat.
Pengajar yang memiliki hati kepada setiap naradidik yang ia didik.

Namanya adalah Novi Dwi, something.
Uh andai saya punya ingatan yang lebih baik, saya tentu akan memberi tahu anda nama lengkap sosok hebat ini.

Kami biasa memanggilnya Miss Novi. Ia mengajar bahasa Inggris saat saya kelas 1 SMA. Sayang sekali kami hanya sempat diajar setahun olehnya. Tahun berikutnya ia harus pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sedih, tentu. Andai saja saya bisa lebih lama menghabiskan waktu dengannya.

Miss Novi tak hanya melatih skill kami dalam berbahasa Inggris, namun juga memberikan banyak pelajaran hidup. Ia tak hanya seorang pengajar, namun juga pelatih. Tak hanya pelatih, tapi juga seorang pendidik. Dan tak hanya pendidik, tapi juga seorang teman.
Ia tak pernah lelah menyemangati kami untuk terus berlatih berbicara agar semakin familiar dengan bahasa Inggris. Ia selalu menyediakan waktu untuk kami, untuk saya, yang tidak percaya diri, pemalu, dan tidak bisa apa-apa. Ia memberi kami, memberi saya, sebuah sudut pandang baru bahwa seorang guru bukan sosok yang kejam yang selalu memberi tugas sesuka hati tanpa memikirkan apakah sang naradidik mampu atau tidak.

Miss Novi yang mempunyai hati yang begitu besar untuk kami, para naradidiknya, selalu mengajar dengan penuh persiapan. Tak pernah sekalipun ia melewatkan kesempatan untuk memberi kami setiap bahan ajar yang ia telah siapkan. Berbeda sekali saat masuk kelas seorang pendidik yang ogah-ogahan dan saat masuk kelas seorang pendidik yang memang mempunyai hati besar untuk para naradidiknya.

Terpenting adalah Miss Novi mengajarkan kami, mengajarkan saya, bahwa menjadi seorang guru tak hanya mengajar atau mendidik sebuah kelas (komunal) tetapi justru mengajar atau mendidik seorang naradidik (personal).

Saya tidak tahu ada berapa individu yang tersentuh oleh cara mengajar Miss Novi. Saya tidak tahu ada berapa individu yang mengalami perkembangan (baik dari segi kemampuan berbahasa Inggris atau hanya sekedar berkembang cara berpikirnya) selama diajar oleh Miss Novi tetapi saya bisa pastikan bahwa saya adalah salah satu hasil dari benih yang ditabur oleh Miss Novi.

Saya sangat bersyukur pernah bertemu oleh sosok yang hebat ini.
Dengan sebuah hati yang sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya, ia dapat menghasilkan satu lagi calon pendidik. Entah pendidik macam apa saya ini, saya tak berani menilai. Saya berharap apapun yang saya ajarkan pada naradidik saya, entah itu kognitif atau afektif, mereka dapat merasakan seperti apa yang saya rasakan saat diajar oleh Miss Novi.

Sekali-dua kali saya berpikir andai saat itu saya tak pernah bertemu Miss Novi, apa jadinya saya sekarang ini?

      Satu yang pasti, saya akan tetap membenci pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa asing yang sangat abstrak bagi saya, diterjemahkan dengan indah dan menarik oleh beliau. Itu yang memotivasi saya untuk terus belajar hingga akhirnya saya bisa lumayan fasih berbicara bahasa Inggris.
      Kedua, saya akan tetap menjadi seorang yang tidak percaya diri, pemalu dan selalu merasa tidak bisa apa-apa.
      Ketiga, saya tidak akan mempunyai sebuah tujuan yang pasti, fokus yang jelas. Bila dulu saat masih bocah, ada yang bertanya "Kalau sudah besar mau jadi apa?" pasti setiap jawaban yang terucap akan berbeda. Entah jadi dokter, insinyur, model, pramugari, dan lainnya. Tapi semenjak bertemu dengan Miss Novi, saya bisa dengan mantap mengatakan bahwa kelak saya ingin menjadi seorang guru, seperti Miss Novi.

Memang tak hanya Miss Novi yang menginspirasi saya menjadi seorang pendidik yang mempunyai hati untuk para naradidiknya. Saya bertemu banyak sekali pendidik yang juga memiliki hati bagi para naradidiknya. Tak hanya mengalirkan ilmu dari kepala mereka ke kepala kami, namun juga berbagi hidup. Bukankah itu lebih penting? Membagikan buah-buah hidup yang jelas bisa diaplikasikan ketimbang teori-teori abstrak yang entah apa signifikansinya selain hanya untuk menyelesaikan tuntutan pendidikan tertentu.



Sekian cerita dari saya.
Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar